Tuesday, June 30, 2015

Membaca Seni Wali-wali Nusantara


Salah satu tradisi Islam Nusantara adalah menempatkan kesenian pada posisi yang mulia. Seni yang bersifat luhur, baik, dan ada rasa keadilannya. Dalam konteks ini, NU yang didirikan para ulama dibawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari, tidak sekadar menempatkan kesenian secara fungsional, sebagai alat dakwah. Lebih dari itu, kesenian merupakan tanda dari pencapaian keber-islam-an seseorang atau masyarakat. Kesenian adalah perlambang kematangan ruhani umat manusia. Semakin rendah selera seni (art taste) sebuah masyarakat menunjukkan rendahnya tingkat spiritualitas masyarakat tersebut. Pandangan semacam ini khas pandangan, pedoman dan keyakinan (i’tiqad) Ahlusunnah Waljama’ah  (ASWAJA)mengenai kesenian. Imam Ghazali (wafat 1111 M) misalnya dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddien, menyebut orang Islam yang tidak bisa menikmati kesenian sebagai kelompok “yang kurang akal” (naaqishul ‘aql). Tatah atau alas dari pencerahan ruhani adalah kesenian, dalam istilah lain hanya kesenian yang mampu menampung bahasa ruhani sehingga sampai pada tataran kemanusiaan.

Dalam konteks Islam di Nusantara, bagaimana para wali menata ajaran Islam dalam bentuk kesenian, dari kesenian serius sampai yang populer. Dari sastra tinggi sampai sastra populer, dari musik klasik Jawa sampai lagu dolanan anak-anak, arsitektur, bahkan sampai kepada fashion, kuliner, dan lain-lain. Eksemplar (uswah hasanah) para Wali Jawa (Wali Songo) dalam bidang kesenian menunjukkan tingginya pencapian kehidupan umat Islam di Nusantara pada abad-15 Masehi dan sebelumnya. 

Jika menelisik pencapaian dalam bidang kesenian ini, maka argumen para peneliti asing tentang Islam Nusantara yang “berumur jagung”, yakni akhir abad 14 Masehi terasa janggal, tidak saja masalah kronologi sejarah tetapi juga tuduhan “ketidak autentikan” Islam Nusantara. 

Tingginya pencapaian keber-islam-an pada masa Wali-wali Nusantara (seperti Wali Songo) menjadi teladan bagi masyarakat islam (pesantren) sampai hari ini. Tidak seperti yang ditulis oleh para peneliti Barat, bahwa sejarah autentik keislaman masyarakat Jawa (Nusantara) dimulai pada abad-19 di Haramain (sekarang Saudi Arabia), bahwa keberadaan para ulama Jawa di Haramain (ashabul jaawi atau Java connections) merupakan fajar pemurnian dan pelurusan Islam Indonesia yang masih hijau. 

Bagi para ulama (golongannya yang nantinya mendirikan Nahdlatul Ulama) sendiri berbeda, justru mereka adalah pelanjut dari tradisi Islam Nusantara yang ditegakkan oleh para Wali Jawa dengan segala hambatan dan kekurangannya. Sikap rendah hati terhadap para pendahulu menjadi sumber kekuatan kaum tradisional Islam di Nusantara. Ulama Jawa akhir abad 19 menyadari bahwa pesantren sebagai pusat pengetahuan telah bergeser menjadi tempat menimba ilmu agama semata, ruang lingkup pesantren semakin sempit. Otoritas orang pesantren di bidang sastra Jawa (Jawa, Melayu, dll.) telah berpindah ke kelompok lain, estetika kesenian wali-wali nusantara semakin terbatas, bahkan tersingkirkan (hanya hadrah, qasidah, dan kaligrafi arab), jaringan islam (pesantren) Nusantara sudah terputus dengan jaringan politik, ekonomi, sejarah, budaya, tradisi, bahkan terhadap warisan leluhurnya sendiri. 

Maka, kita harus melakukan pembacaan ulang terhadap warisan dari para wali Nusantara, baik di bidang pengetahuan maupun kesenian secara menyeluruh tanpa harus tergantung dengan, dan hasil pandangan orang lain tentang Islam Nusantara. Islam Nusantara merupakan tetas-tetesan keluhuran dari mata air kewalian (walayah dalam bahasa Arab) yang sebagian besar berwujud dalam kesenian: baik itu seni rupa, seni sastra, seni tari, drama, seni musik, arsitektur, dan sebagainya. 

Keterkaitan antara dinamika dunia seni kontemporer hari ini dengan sejarah estetika seni yang dihasilkan wali-wali nusantara nyaris terputus. Dalam konteks hari ini pula, dengan menimbang segala perubahan dan dinamika dunia Islam, terutama dalam dinamika dunia kesenian itu sendiri, maka apa yang disebut dengan seni wali-wali Nusantara harus diapresiasi kembali (sekaligus sebagai media instrospeksi diri) untuk mendorong keterbukaan dan proses apropriasi menuju dialog tradisi keilmuan yang lebih konstruktif sebagai ikhtiar membangun nilai-nilai kebangsaan yang lebih jujur demi kemaslahatan bersama. Para kyai atau ulama Nahdlatul Ulama mendorong, membangun, dan menjaga kehidupan kebangsaan yang beragama di atas tiga sendi: keberagaman (taaddudiyah= pluralitas), kemoderatan (tawasuth), dan keadialan (taaddul). Kebaragaman termasuk meliputi keberagaman keyakinan, etnis, ras, dan sebagainya. NU sejak berdiri pada tahun 1926 M terlibat aktif melanjutkan gagasan kebangsaan para ulama di masa lalu yang mendorong sebuah Negara kebangsaan seperti terwujud sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun tumbuh sebagai kelompok mayoritas, NU tidak berminat mendirikan sebuah Negara agama (Negara Islam) seperti yang diinginkan (desiring) oleh kelompok lain di dalam postur kebangsaan Indonesia.

A.Anzieb & Hasan Basri

0 komentar:

Post a Comment