Showing posts with label Sosial. Show all posts
Showing posts with label Sosial. Show all posts

Saturday, December 29, 2012

Dalam Islam Istri itu bukan Pembantu.

kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.

Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Kisah Gus Dur dengan KH Zainal arifin pekalongan

        ‎'' Suatu ketika KH.Zainal Arifin pengasuh PP.Al Arifiyyah Medono Kota Pekalongan ,di minta tolong oleh panitia untuk menjemput Al Maghfurlah KH.Abdurahman Wahid atau Gus Dur untuk mengisi sebuah acara akbar di Kota Pekalongan,waktu itu panitia minta di dampingi KH.Zainal utk menjemput Gus Dur yg sedang mengisi acara pengajian di Semarang Jateng, seusai acara dan ramah tamah dengan tamu2,Gus Dur memutuskan untuk ikut Rombonganya KH.Zainal dan Panitia ke Pekalongan,waktu itu meluncur  dari Semarang antara jam 1- 2 dini hari, KH.Zainal dan Panitia setelah berbincang secukupnya dgn Gus Dur, tahu diri mempersilahkan Gus Dur untuk Istirahat di mobil yg melaju dengan tenang sebab jalur pantura jam segitu juga sdh lengang dan sepi,apalagi dengan keterbatasan Kesehatan Gus Dur dan Seabrek kegiatanya dari pagi hingga dini hari tersebut tentu menguras banyak energi dan tenaga,tpi ternyata Gus Dur alih alih Istirahat, ternyata malah masih membaca Al-Qur'an dengan hafalan < Bil Ghoib>.
         sementara Kh.Zainal dan panitia yg jelas secara fisik lebih sehat 100% di banding Gus Dur saja sudh kecapean banget, hampir terlelap, namun kaget ketika dengar perlahan lahan ternyata Gus Dur sedang 'mendaras' Al- Qur'an secara hafalan, Kontan Rasa kantuk KH.Zainal dkk hilang, sambil penasaran KH.Zainal dkk menyimak hafalannya Gus Dur, tak terasa 1 jam lewat sampailah di Pekalongan, air mata Kh.Zainal dkk tumpah ruah, ia membayangkan orang yg selama ini sering disalah fahami berbagai fihak,di kafir2kan,di umpat di cemo'oh dst....malam ini dgn fisik dan kesehatan yg sangat terbatas, dan kelelahan yg luar
biasa setelah hampir sehari semalam beraktifitas penuh dengan berbagai kegiatan,malam  ini dalam waktu 1 jam perjalanan semarang-pekalongan ternyata masih 'menyempatkan' membaca Al-Qur'an dengan hafalan sampai
5 juz lebih,apakah mereka yg mengkafir-kafir kan beliau sanggup melakukan hal demikian...Subhanallah!
ternyata itu salah satu kebiasaan Gus Dur kalo dalam Mobil, bukanya seperti kita alih-alih baca Qur'an, berdoa saja kadang lupa, malah mendengarkan musik2 yg nggak karu-karuan..entahlah kalo mereka yg merasa lebih 'Islami' dari Gus Dur.....".

Monday, September 24, 2012

infaq, sedekah, jariah dan waqof adakah perbedaan?

Lansung kepengertian aja nih hehe

  • Infaq itu dari kata nafaqoh, memberi nafaqoh / harta
  • Shodaqoh itu pemberian yang mengaharapkan/mencari pahala dari Alloh
  • Jariyah artinya mengalir biasa dikaitkan dengan amal jariyah atau shodaqoh jariyah artinya shodaqoh yang pahalanya tetap mengalir meskipun si pemberi sudah meningga
  • waqof adlh  bahwa seseorang menyerahkan harta yang tetap ada terus wujudnya namun selalu memberikan manfaat dari waktu ke waktu tanpa kehilangan benda aslinya Wakaf berbeda dengan sedekah biasa. Kalau sedekah biasa, begitu seseorang memberikan hartanya, maka biasanya harta itu langsung habis manfaatnya saat itu juga. Misalnya, seseorang bersedekah memberikan 10 orang miskin makan siang. Begitu makanan sudah dilahap, maka orang itu dapat pahala. Tapi tidak ada pahala lainnya setelah itu, sebab pokok sedekah itu sudah selesai manfaatnya.Sedangkan dalam wakaf, seseorang bersedekah dengan harta yang pokoknya tetap ada, namun harta itu bisa menghasilkan pemasukan atau penghasilan yang bersifat terus menerus dan juga rutin. Misalnya seseorang mewakafkan seekor sapi untuk fakir miskin. Sapi itu tidak disembelih untuk dimakan dagingnya, melainkan dipelihara oleh orang yang ahli dalam pekerjaannya. Yang diambil manfaatnya adalah susunya yang diperah. Susu itu misalnya boleh dibagikan kepada fakir miskin, atau dijual yang hasilnya untuk kaum fakir miskin.
     

jadi jariyah masuk shodaqoh, dan shodaqoh masuk infaq. infaq lebih umum

وتأوّل بعض أصحابه قول عمر علـى أن الزكاة هنا النفقة كحديث: «إذا أنفق الـمسلـم علـى أهله كانت له صدقة» وتعقب بأن اسم الزكاة لا يطلق علـى النفقة لغة ولا شرعاً، ولا يقاس علـى لفظ صدقة لأن اللغة لا تؤخذ بـالقـياس،
وأيضاً فـالصدقة لا تطلق علـى النفقة وإنـما وصفت بـالصدقة فـي الـحديث لأنه يؤجر علـيها، وحجة الـجمهور عموم حديث: «تؤخذ من أغنـيائهم فترد علـى فقرائهم» والقـياس علـى زكاة الـحرث والفطر والولـي هو الـمخاطب بـالزكاة فـيأثم بترك إخراجها لا الطفل.

syarah muwatho - zarqoniy
====================

zakat termasuk shodaqoh juga, tapi shodaqoh yang wajib

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [٩:١٠٣]

Wahai Rasulullah, ambillah sedekah dari harta orang-orang yang bertobat itu, yang dapat membersihkan mereka dari dosa dan kekikiran dan dapat mengangkat derajat mereka di sisi Allah. Doakanlah mereka dengan kebaikan dan hidayah, karena sesungguhnya doamu dapat menenangkan jiwa dan menenteramkan kalbu mereka. Allah Maha Mendengar doa dan Maha Mengetahui orang-orang yang ikhlas dalam bertobat.

‎(كِتَابُ الْوَقْفِ) هُوَ - لُغَةً - الْحَبْسُ يُقَالُ: وَقَفْت كَذَا أَيْ حَبَسْته, وَيُقَالُ: أَوْقَفْته فِي لُغَةٍ رَدِيئَةٍ وَشَرْعًا حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِي رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرِفٍ مُبَاحٍ, وَجَمْعُهُ وُقُوفٌ وَأَوْقَافٌ, وَالأَصْلُ فِيهِ خَبَرُ مُسْلِمٍ [إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلا مِنْ ثَلاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ] . وَالصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ مَحْمُولَةٌ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ عَلَى الْوَقْفِ كَمَا قَالَهُ الرَّافِعِيُّ لا عَلَى الْوَصِيَّةِ بِالْمَنَافِعِ لِنُدْرَتِهَا وَفِي الصَّحِيحَيْنِ [أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنْ شِئْت حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ عَلَى أَنَّهُ لا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلا يُوهَبُ وَلا يُورَثُ] وَهُوَ أَوَّلُ وَقْفٍ فِي الإِسْلامِ عَلَى الْمَشْهُورِ
asnal matholib.
==================

(النفقةلغة: هي ما ينفقه الإنسان من الأموال كما فى القاموس(1).
(واصطلاحا: كفاية من يمونه خبزا وأداما وكسوة ومكسنا وتوابعها(2).

نَفَقَة [مفرد]: ج نَفَقَات ونِفاق:1- ما يُبذل من المال "أقام مأدُبةً على نَفَقَتِه- نفقات المعيشة/ انتقال- أسبغ له النَّفقة: وسّع عليه- ?وَلاَ يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلاَ كَبِيرَةً?"| على نفقة فلان: على حسابه، من ماله الخاصّ- فلانٌ قليل النَّفقات: بخيل
.
Perlaksanaan ibadah wakaf adalah berasaskan kepada hadis Ibn Umar yang diriwayatkan oleh imam muslim yang bermaksud:-
عَنْ ‏ابْنِ عُمَرَ ‏ رَضِيَ اللهُ عنْهُمَا قَالَ : ‏أَصَابَ ‏ ‏عُمَرُ ‏ ‏أَرْضًا ‏ ‏بِخَيْبَرَ ,‏ ‏فَأَتَى النَّبِيَّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَسْتَأْمِرُهُ ‏ ‏فِيهَا, فَقالَ  : يَا رَسُولَ اللَّهِ , إِنِّي ‏ ‏أَصَبْتُ ‏ ‏أَرْضًا ‏ ‏بِخَيْبَرَ ‏ ‏لَمْ ‏ ‏أُصِبْ ‏ ‏مَالاً قَطُّ هُوَ ‏ ‏أَنْفَسُ ‏ ‏عِنْدِي مِنْهُ, فَقَالَ : ‏ ‏إِنْ شِئْتَ ‏ ‏حَبَسْتَ ‏ ‏أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا, قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا ‏ ‏عُمَرُ , و‏أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلاَ ‏ ‏يُبْتَاعُ ‏ ‏وَلاَ يُورَثُ وَلاَ يُوهَبُ قَالَ فَتَصَدَّقَ ‏ ‏عُمَرُ ‏ ‏فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ‏ ‏وَابْنِ السَّبِيلِ ‏ ‏وَالضَّيْفِ لاَ ‏ ‏جُنَاحَ ‏ ‏عَلَى مَنْ ‏ ‏وَلِيَهَا ‏ ‏أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ ‏ ‏مُتَمَوِّلٍ ‏ مَالاً.
 ﴿ متفق عليه واللفظ لمسلم ﴾
Maksudnya :
Daripada Ibnu Umar r.a  katanya: Umar  telah mendapat sebidang tanah di Khaibar  kemudian dia datang menghadap Nabi S.A.W untuk meminta pendapat berkenaan cara menguruskannya, katanya: Wahai Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar.  Saya belum pernah memperolehi harta yang lebih baik daripada ini. Baginda bersabda: Jika kamu suka, tahanlah tanah itu (wakafkanlah tanah itu ) dan kamu sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar  mengeluarkan sedekah hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual dan dibeli serta diwarisi atau dihadiahkan. Umar  mengeluarkan sedekah hasilnya kepada fakir miskin, kaum kerabat dan untuk memerdekakan hamba juga untuk orang yang berjihad di jalan Allah serta untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan menjadi hidangan untuk tetamu. Orang yang mengurusnya boleh makan sebahagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan kepada temannya dengan sekadarnya.
Muttafaq a’laih dan susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim
Dan firman Allah Subhanahu Wa Taala yang bermaksud : -
﴿ لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ‌ۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَىۡءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ۬﴾
سورة آل عمران : ۹۲
Mafhumnya:-
“ Kamu tidak sekali-kali akan mencapai kebaikan (yang sempurna) sehingga kamu dermakan sebahagian daripada apa yang kamu sayangi, dan apa jua yang kamu dermakan maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
 Surah Ali Imran – Ayat 92

Monday, September 3, 2012

Berjilbab itu berdosa?

Baru-baru ini jilbab telah menjadi trend

masyarakat indonesia khususnya

kaum hawa. Dari mereka ada yang rela

mengeluarkan isi dompet untuk

memperdalam ilmu mempercantik diri

dengan jilbab. Namun, apakah mereka

tahu aturan-aturan berjilbab yang

sesungguhnya? Karena, tidak semua

pemakai jilbab telah benar-benar

menutup aurot sehingga terhindar dari

dosa.

Ada beberapa gaya berjilbab yang

justru menambah koleksi dosa bagi

pemakai jilbab tersebut.

1. Jilbab dengan bahan tipis bahkan transparan

Memakai jilbab dengan bahan yang

tipis memang terlihat modis. Dan bahan

ini sangat cocok bagi para muslimah

yang berada di daerah yang panas.

Sehingga rasa panas tidak begitu

membunuh mereka. Namun, jilbab

dengan bahan inilah yang justru

membuat dosa. Rosulullah SAW

menyebut hal seperti ini dengan

sebutan “berpakaian tapi telanjang”.

2. Jilbab ketat

Muslimah diwajibkan memakai jilbab

bertujuan agar menutupi kulit serta

lekuk tubuh yang menggoda para

kaum adam. Namun, baru-baru ini

para muslimah seakan-akan

mengacuhkan ketentuan berjilbab

tersebut. Mereka memang berjilbab

sesuai perintah, tetapi lekuk-lekuk

tubuh mereka masih saja terlihat.

Bahkan sebagian dari muslimah

tersebut berjilbab hanya untuk

menonjolkan lekuk tubuh mereka. Hal

seperti inilah yang menambah isi

dompet dosa mereka.

3. Jilbab yang mirip pakaian lelaki

Celana jeans dan kaos lengan panjang

adalah identik pakaian laki-laki.

Pakaian-pakaian tersebut tidak jarang

juga dipakai oleh para muslimah.

Walaupun mereka memakai kerudung,

namun kerudungnya tidak menjuntai

hingga dada. Terlebih lagi dipadu

dengan kaos lengan panjang serta

celana jeans. Seperti seorang laki-laki

yang memakai kerudung. Gaya seperti

ini tidak boleh dirpaktekkan oleh para

muslimah. Karena gaya seperti ini

adalah dosa bagi para muslimah.

Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an

surat An Nuur ayat 31.

4. Jilbab yang menyerupai wanita kafir

Jaman memang sudah berkembang,

begitu juga dengan model-model

berbusana. Namun, peraturan tidak lah

berubah sedikitpun. Begitu halnya

peraturan berlilbab. Para muslimah

hendaknya benar-benar mengetahui

bagaimana tata cara berjilbab yang

benar. Karena, hal yang paling

membuat dosa adalah salah pengertian

tentang berjilbab. Sebagai contoh

apabila mereka berjilbab tetapi

membuat seperti wanita kafir. Seperti

berkerudung namun pahanya masih

jelas terlihat, berjilbab namun dada

tetap dipamerkan. Dengan demikian,

berjilbab justru membuat mereka

semakin berdosa saja. Jadi, pelajarilah

peraturan-peraturannya terlebih dahulu

sebelum bertindak.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Saturday, August 4, 2012

Benerapa Hal positif dari status JOMBLO


Mungkin Ada beberapa orang yang risih dengan status jomblo, sehingga mereka berusaha mencari pacar
secepatnya. Padahal sebenarnya ada banyak hal baik jika menyandang status lajang, demikian seperti yang dilansir dari She Knows (03/08).
Fokus dengan urusan pribadi Anda sedang mengejar mimpi, cita-cita, karir, atau berbagai hal
pribadi lainnya. Jika Anda termasuk orang yang susah fokus, jadi jomblo adalah pilihan terbaik
untuk saat ini. Sebab dengan 'berjuang' sendirian, Anda bisa meraih segala hal itu dengan lebih
baik.
Tidak semua yang pacaran itu senang Kerap iri dengan pasangan yang terlihat bahagia? Well, jangan
dulu. Karena tidak semua yang pacaran memiliki kehidupan asmara yang menyenangkan. Pikir
dengan baik, kalau Anda siap jatuh cinta, Anda juga harus siap patah hati. Menunggu orang yang tepat Beberapa orang yang risih dengan status jomblo mereka akan buru-
buru cari pacar. Tahukah Anda  bahwa sikap tersebut bisa membuat mereka jatuh ke orang
yang salah? Jadi sebaiknya Anda tetap jomblo dan menunggu orang
yang tepat sebagai pasangan Anda kelak. Menikmati hidup Orang jomblo ingin punya pacar. Tetapi banyak juga orang yang punya pacar malah ingin jomblo. Jadi, selama Anda masih lajang,
nikmati pengalaman itu. Lakukan pendekatan, menggoda gebetan, dan sampai perjodohan oleh
teman atau saudara. Memperbaiki diri Meskipun Anda sudah nyaman
menjadi jomblo, Anda sebaiknya juga terus berusaha memperbaiki diri. Jangan berharap
mendapatkan pasangan yang terlalu baik jika Anda sendiri tidak mampu menjadi orang seperti itu.
Hal-hal terbaik ini bukan berarti Anda harus menjadi jomblo
selamanya! Sebab sebelum bertemu dengan orang yang tepat, setidaknya Anda harus bangga terhadap diri sendiri kan?
Published with Blogger-droid v2.0.6

Thursday, July 19, 2012

Puasa wajib ikut pemerintah atau ikut ormas?

Taat kepada pemerintah dalam

perkara kebaikan. Inilah salah satu

prinsip agama yang kini telah banyak

dilupakan dan ditinggalkan umat.

Yang kini banyak dilakukan justru

berupaya mencari keburukan

pemerintah sebanyak-banyaknya

untuk kemudian disebarkan ke

masyarakat. Akibat buruk dari

ditinggalkannya prinsip ini sudah

banyak kita rasakan. Satu diantaranya

adalah munculnya perpecahan di

kalangan umat Islam saat

menentukan awal Ramadhan atau

Hari Raya.

Bulan suci Ramadhan merupakan

bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-

harinya diliputi suasana ibadah;

shaum, shalat tarawih, bacaan Al-

Qur`an, dan sebagainya. Sebuah

fenomena yang tak didapati di bulan-

bulan selainnya. Tak ayal, bila

kedatangannya menjadi dambaan,

dan kepergiannya meninggalkan

kesan yang mendalam. Tak kalah

istimewanya, ternyata bulan suci

Ramadhan juga sebagai salah satu

syi’ar kebersamaan umat Islam.

Secara bersama-sama mereka

melakukan shaum Ramadhan;

dengan menahan diri dari rasa lapar,

dahaga dan dorongan hawa nafsu

sejak terbitnya fajar hingga

terbenamnya matahari, serta mengisi

malam-malamnya dengan shalat

tarawih dan berbagai macam ibadah

lainnya. Tak hanya kita umat Islam di

Indonesia yang merasakannya.

Bahkan seluruh umat Islam di penjuru

dunia pun turut merasakan dan

memilikinya.

Namun syi’ar kebersamaan itu kian

hari semakin pudar, manakala

elemen-elemen umat Islam di banyak

negeri saling berlomba merumuskan

keputusan yang berbeda dalam

menentukan awal dan akhir bulan

Ramadhan.

Keputusan itu terkadang atas nama

ormas, terkadang atas nama parpol,

dan terkadang pula atas nama

pribadi.

Masing-masing mengklaim,

keputusannya yang paling benar.

Tak pelak, shaum Ramadhan yang

merupakan syi’ar kebersamaan itu

(kerap kali) diawali dan diakhiri

dengan fenomena perpecahan di

tubuh umat Islam sendiri. Tentunya,

ini merupakan fenomena

menyedihkan bagi siapa pun yang

mengidamkan persatuan umat.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Mungkin anda akan berkata:

“Itu karena adanya perbedaan

pendapat diantara elemen umat

Islam, apakah awal masuk dan

keluarnya bulan Ramadhan itu

ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat

hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”.

Bisa juga anda mengatakan:

“Karena adanya perbedaan pendapat,

apakah di dunia ini hanya berlaku satu

mathla’ (tempat keluarnya hilal)

ataukah masing-masing negeri

mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”

Bila kita mau jujur soal penyebab

pudarnya syi’ar kebersamaan itu,

lepas adanya realita perbedaan

pendapat di atas, utamanya

disebabkan makin tenggelamnya

salah satu prinsip penting agama

Islam dari hati sanubari umat Islam.

Prinsip itu adalah memuliakan dan

menaati penguasa (pemerintah) umat

Islam dalam hal yang ma’ruf

(kebaikan).

Mungkin timbul tanda tanya:

“Apa hubungannya antara ketaatan

terhadap penguasa dengan

pelaksanaan shaum Ramadhan?”

Layak dicatat, hubungan antara

keduanya sangat erat. Hal itu karena:

1. Shaum Ramadhan merupakan

syi’ar kebersamaan umat Islam, dan

suatu kebersamaan umat tidaklah

mungkin terwujud tanpa adanya

ketaatan terhadap penguasa.

2. Penentuan pelaksanaan shaum

Ramadhan merupakan perkara yang

ma’ruf (kebaikan) dan bukan

kemaksiatan. Sehingga menaati

penguasa dalam hal ini termasuk

perkara yang diperintahkan dalam

agama Islam. Terlebih ketika

penentuannya setelah melalui sekian

proses, dari pengerahan tim ru`yatul

hilal di sejumlah titik di negerinya

hingga digelarnya sidang-sidang

istimewa.

3. Realita juga membuktikan, dengan

menaati keputusan penguasa dalam

hal pelaksanaan shaum Ramadhan

dan penentuan hari raya `Idul Fithri,

benar-benar tercipta suasana

persatuan dan kebersamaan umat.

Sebaliknya, ketika umat Islam

berseberangan dengan penguasanya,

perpecahan di tubuh mereka pun

sangat mencolok. Maka dari itu,

menaati penguasa dalam hal ini

termasuk perkara yang diperintahkan

dalam agama Islam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda:

“Barangsiapa menaatiku berarti telah

menaati Allah. Barangsiapa

menentangku berarti telah

menentang Allah. Barangsiapa

menaati pemimpin (umat)ku berarti

telah menaatiku, dan barangsiapa

menentang pemimpin (umat)ku

berarti telah menentangku.” (HR. Al-

Bukhari dan Muslim, dari shahabat

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani

berkata: “Di dalam hadits ini terdapat

keterangan tentang kewajiban menaati

para penguasa dalam perkara-perkara

yang bukan kemaksiatan. Adapun

hikmahnya adalah untuk menjaga

persatuan dan kebersamaan (umat

Islam), karena di dalam perpecahan

terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz

13, hal. 120)

Mungkin ada yang bertanya,

“Adakah untaian fatwa dari para

ulama seputar permasalahan ini?”

Maka jawabnya ada, sebagaimana

berikut ini:

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum

Ramadhan Bersama Penguasa

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Seseorang (hendaknya) bershaum

bersama penguasa dan jamaah

(mayoritas) umat Islam, baik ketika

cuaca cerah ataupun mendung.”

Beliau juga berkata: “Tangan Allah

Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-

Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25,

hal. 117).

Al-Imam At-Tirmidzi berkata:

“Sebagian ahlul ilmi menafsirkan

hadits ini hadits Abu Hurairah

radhiallahu ‘anhu : “Shaum itu di hari

kalian (umat Islam) bershaum,

(waktu) berbuka adalah pada saat

kalian berbuka, dan (waktu)

berkurban/ Iedul Adha di hari kalian

berkurban.” dengan ucapan (mereka):

`Sesungguhnya shaum dan

berbukanya itu (dilaksanakan)

bersama Al-Jama’ah dan mayoritas

umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2,

hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-

Shahihah jilid 2, hal. 443).

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata:

“Yang jelas, makna hadits ini adalah

bahwasanya perkara-perkara

semacam ini (menentukan

pelaksanaan shaum Ramadhan,

berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul

Adha, -pen.) keputusannya bukanlah

di tangan individu. Tidak ada hak bagi

mereka untuk melakukannya sendiri-

sendiri. Bahkan permasalahan

semacam ini dikembalikan kepada

penguasa dan mayoritas umat Islam.

Dalam hal ini, setiap individu pun

wajib untuk mengikuti penguasa dan

mayoritas umat Islam. Maka dari itu,

jika ada seseorang yang melihat hilal

(bulan sabit) namun penguasa

menolak persaksiannya, sudah

sepatutnya untuk tidak dianggap

persaksian tersebut dan wajib baginya

untuk mengikuti mayoritas umat Islam

dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah

`ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-

Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443).

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad

Nashiruddin Al-Albani berkata:

“Dan selama belum (terwujud)

bersatunya negeri-negeri Islam di atas

satu mathla’ (dalam menentukan

pelaksanaan shaum Ramadhan, -

pen.), aku berpendapat bahwa setiap

warga negara hendaknya

melaksanakan shaum Ramadhan

bersama negaranya (pemerintahnya)

masing-masing dan tidak bercerai-

berai dalam perkara ini, yakni shaum

bersama pemerintah dan sebagian

lainnya shaum bersama negara lain,

baik mendahului pemerintahnya atau

pun belakangan. Karena yang

demikian itu dapat mempertajam

perselisihan di tengah masyarakat

muslim sendiri. Sebagaimana yang

terjadi di sebagian negara Arab sejak

beberapa tahun yang lalu. Wallahul

Musta’an.” (Tamamul Minnah hal.

398). (Catatan : Beliau merupakan

salah satu ulama yang berpendapat

bahwasanya pelaksanaan shaum

Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini

hanya dengan satu mathla’ saja,

sebagaimana yang beliau rinci dalam

kitab Tamamul Minnah hal. 398.

Walaupun demikian, beliau sangat

getol mengajak umat Islam (saat ini)

untuk melakukan shaum Ramadhan

dan Iedul Fithri bersama

penguasanya, sebagaimana perkataan

beliau di atas).

Beliau rahimahumullah juga berkata:

“Inilah yang sesuai dengan syariat

(Islam) yang toleran, yang diantara

misinya adalah mempersatukan umat

manusia, menyatukan barisan mereka

serta menjauhkan mereka dari segala

pendapat pribadi yang memicu

perpecahan. Syariat ini tidak mengakui

pendapat pribadi meski menurut yang

bersangkutan benar dalam ibadah

yang bersifat kebersamaan seperti;

shaum, Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa

sebagian shahabat radhiallahu

‘anhum shalat bermakmum di

belakang shahabat lainnya, padahal

sebagian mereka ada yang

berpendapat bahwa menyentuh

wanita, menyentuh kemaluan, dan

keluarnya darah dari tubuh termasuk

pembatal wudhu, sementara yang

lainnya tidak berpendapat demikian?!

Sebagian mereka ada yang shalat

secara sempurna (4 rakaat) dalam

safar dan diantara mereka pula ada

yang mengqasharnya (2 rakaat).

Namun perbedaan itu tidaklah

menghalangi mereka untuk

melakukan shalat berjamaah di

belakang seorang imam (walaupun

berbeda pendapat dengannya, -pen.)

dan tetap berkeyakinan bahwa shalat

tersebut sah. Hal itu karena adanya

pengetahuan mereka bahwa bercerai-

berai dalam urusan agama lebih

buruk daripada sekedar berbeda

pendapat. Bahkan sebagian mereka

mendahulukan pendapat penguasa

daripada pendapat pribadinya pada

momen berkumpulnya manusia

seperti di Mina. Hal itu semata-mata

untuk menghindari kesudahan buruk

(terjadinya perpecahan) bila dia tetap

mempertahankan pendapatnya.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-

Imam Abu Dawud (1/307),

bahwasanya Khalifah `Utsman bin

`Affan radhiallahu ‘anhu shalat di

Mina 4 rakaat (Zhuhur, `Ashar, dan

Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah

bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu

mengingkarinya seraya berkata: “Aku

telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -

pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa sallam, Abu Bakr, `Umar dan di

awal pemerintahan `Utsman 2 rakaat,

dan setelah itu `Utsman shalat 4

rakaat. Kemudian terjadilah

perbedaan diantara kalian (sebagian

shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2

rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4

rakaat shalat itu yang diterima adalah

yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat

Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4

rakaat. Maka dikatakanlah kepada

beliau:

“Engkau telah mengingkari `Utsman

atas shalatnya yang 4 rakaat,

(mengapa) kemudian engkau shalat 4

rakaat pula?!”

Abdullah bin Mas’ud berkata:

“Perselisihan itu jelek.”

Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula

oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti

riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar

radhiallahu ‘anhu.

Maka dari itu, hendaknya hadits dan

atsar ini benar-benar dijadikan bahan

renungan oleh orang-orang yang

(hobi, -pen.) berpecah-belah dalam

urusan shalat mereka serta tidak mau

bermakmum kepada sebagian imam

masjid, khususnya shalat witir di bulan

Ramadhan dengan dalih beda

madzhab. Demikian pula orang-orang

yang bershaum dan berbuka sendiri,

baik mendahului mayoritas kaum

muslimin atau pun mengakhirkannya

dengan dalih mengerti ilmu falaq,

tanpa peduli harus berseberangan

dengan mayoritas kaum muslimin.

Hendaknya mereka semua mau

merenungkan ilmu yang telah kami

sampaikan ini. Dan semoga ini bisa

menjadi obat bagi kebodohan dan

kesombongan yang ada pada diri

mereka. Dengan harapan agar mereka

selalu dalam satu barisan bersama

saudara-saudara mereka kaum

muslimin, karena tangan Allah

Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-

Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-

Shahihah jilid 2, hal. 444-445)

Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin

Baz rahimahullahu pernah ditanya:

“Jika awal masuknya bulan Ramadhan

telah diumumkan di salah satu negeri

Islam semisal kerajaan Saudi Arabia,

namun di negeri kami belum

diumumkan, bagaimanakah

hukumnya? Apakah kami bershaum

bersama kerajaan Saudi Arabia

ataukah bershaum dan berbuka

bersama penduduk negeri kami,

manakala ada pengumuman?

Demikian pula halnya dengan

masuknya Iedul Fithri, apa yang harus

kami lakukan bila terjadi perbedaan

antara negeri kami dengan negeri

yang lainnya? Semoga Allah

Subhanahu wa Ta’ala membalas

engkau dengan kebaikan.”

Beliau menjawab:

“Setiap muslim hendaknya bershaum

dan berbuka bersama (pemerintah)

negerinya masing-masing. Hal itu

berdasarkan sabda Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam:

“Waktu shaum itu di hari kalian (umat

Islam) bershaum, (waktu) berbuka

adalah pada saat kalian berbuka, dan

(waktu) berkurban/Iedul Adha di hari

kalian berkurban.” Wabillahit taufiq.

(Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-

Utsaimin rahimahullahu ditanya:

“Umat Islam di luar dunia Islam sering

berselisih dalam menyikapi berbagai

macam permasalahan seperti

(penentuan) masuk dan keluarnya

bulan Ramadhan, serta saling berebut

jabatan di bidang dakwah. Fenomena

ini terjadi setiap tahun. Hanya saja

tingkat ketajamannya berbeda-beda

tiap tahunnya. Penyebab utamanya

adalah minimnya ilmu agama,

mengikuti hawa nafsu dan terkadang

fanatisme madzhab atau partai, tanpa

mempedulikan rambu-rambu syariat

Islam dan bimbingan para ulama

yang kesohor akan ilmu dan wara’-

nya. Maka, adakah sebuah nasehat

yang kiranya bermanfaat dan dapat

mencegah (terjadinya) sekian

kejelekan? Semoga Allah Subhanahu

wa Ta’ala memberikan taufiq dan

penjagaan-Nya kepada engkau.”

Beliau berkata:

“Umat Islam wajib bersatu dan tidak

boleh berpecah-belah dalam

beragama. Sebagaimana firman Allah

Subhanahu wa Ta’ala:

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian

tentang agama, apa yang telah

diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa

yang telah Kami wasiatkan kepadamu,

Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’

Tegakkanlah agama dan janganlah

kalian berpecah-belah

tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)

“Dan berpegang-teguhlah kalian

semua dengan tali (agama) Allah, dan

janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali

`Imran: 103)

“Dan janganlah kalian seperti orang-

orang yang berpecah-belah dan

berselisih setelah keterangan datang

kepada mereka, dan bagi mereka

adzab yang pedih.” (Ali `Imran: 105)

Sehingga umat Islam wajib untuk

menjadi umat yang satu dan tidak

berpecah-belah dalam beragama.

Hendaknya waktu shaum dan berbuka

mereka satu, dengan mengikuti

keputusan lembaga/departemen yang

menangani urusan umat Islam dan

tidak bercerai-berai (dalam masalah

ini), walaupun harus lebih tertinggal

dari shaum kerajaan Saudi Arabia

atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi

Ahkamish Shiyam, hal. 51-52).

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-

Buhuts Al-`Ilmiyyah wal-Ifta`:

“Dan tidak mengapa bagi penduduk

negeri manapun, jika tidak melihat

hilal (bulan tsabit) di tempat

tinggalnya pada malam ke-30, untuk

mengambil hasil ru`yatul hilal dari

tempat lain di negerinya. Jika umat

Islam di negeri tersebut berbeda

pendapat dalam hal penentuannya,

maka yang harus diikuti adalah

keputusan penguasa di negeri

tersebut bila ia seorang muslim,

karena (dengan mengikuti)

keputusannya akan sirnalah

perbedaan pendapat itu. Dan jika si

penguasa bukan seorang muslim,

maka hendaknya mengikuti

keputusan majelis/departemen pusat

yang membidangi urusan umat Islam

di negeri tersebut. Hal ini semata-

mata untuk menjaga kebersamaan

umat Islam dalam menjalankan

shaum Ramadhan dan shalat Id di

negeri mereka. Wabillahit taufiq,

washallallahu `ala Nabiyyina

Muhammad wa alihi wa shahbihi

wasallam.” Pemberi fatwa: Asy-Syaikh

Abdur Razzaq `Afifi, Asy-Syaikh

Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-

Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat

Fatawa Ramadhan hal. 117)

Demikianlah beberapa fatwa para

ulama terdahulu dan masa kini

seputar kewajiban bershaum bersama

penguasa dan mayoritas umat Islam

di negerinya. Semoga menjadi pelita

dalam kegelapan dan ibrah bagi

orang-orang yang mendambakan

persatuan umat Islam.

Mungkin masih ada yang mengatakan

bahwasanya kewajiban menaati

penguasa dalam perkara semacam ini

hanya berlaku untuk seorang

penguasa yang adil. Adapun bila

penguasanya dzalim atau seorang

koruptor, tidak wajib taat kepadanya

walaupun dalam perkara-perkara

kebaikan dan bukan kemaksiatan,

termasuk dalam hal penentuan

masuk dan keluarnya bulan

Ramadhan ini.

Satu hal yang perlu digarisbawahi

dalam hal ini, jika umat dihadapkan

pada polemik atau perbedaan

pendapat, prinsip `berpegang teguh

dan merujuk kepada Al-Qur`an dan

Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa sallam’ haruslah senantiasa

dikedepankan. Sebagaimana

bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala

dalam kalam-Nya nan suci:

“Dan berpegang-teguhlah kalian

semua dengan tali (agama) Allah, dan

janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali

`Imran: 103)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata:

“Allah Subhanahu wa Ta’ala

mewajibkan kepada kita agar

berpegang teguh dengan Kitab-Nya

(Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya,

serta merujuk kepada keduanya di

saat terjadi perselisihan. Sebagaimana

Dia (juga) memerintahkan kepada kita

agar bersatu di atas Al-Qur`an dan

As-Sunnah baik secara keyakinan atau

pun amalan” (Tafsir Al-Qurthubi,

4/105)

Para pembaca yang mulia, bila anda

telah siap untuk merujuk kepada Al-

Qur`an dan As-Sunnah maka

simaklah bimbingan dari Al-Qur`an

dan As-Sunnah berikut ini: Allah

Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman,

taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil

Amri diantara kalian.” (An-Nisa`: 59)

Al-Imam An-Nawawi berkata:

“Yang dimaksud dengan Ulil Amri

adalah orang-orang yang Allah

Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk

ditaati dari kalangan para penguasa

dan pemimpin umat. Inilah pendapat

mayoritas ulama terdahulu dan

sekarang dari kalangan ahli tafsir dan

fiqih serta yang lainnya.” (Syarh

Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)

Adapun baginda Rasul Shallallahu

‘alaihi wa sallam, maka beliau

seringkali mengingatkan umatnya

seputar permasalahan ini.

Diantaranya dalam hadits-hadits

beliau berikut ini:

1. Shahabat `Adi bin Hatim

radhiallahu ‘anhu berkata:

“Wahai Rasulullah, kami tidak

bertanya kepadamu tentang ketaatan

(terhadap penguasa) yang bertakwa.

Yang kami tanyakan adalah ketaatan

terhadap penguasa yang berbuat

demikian dan demikian (ia sebutkan

kejelekan-kejelekannya).” Maka

Rasulullah bersabda: “Bertakwalah

kalian kepada Allah, dengarlah dan

taatilah (penguasa tersebut).” (HR.

Ibnu Abi `Ashim dalam Kitab As-

Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-

Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah

Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda:

“Akan ada sepeninggalku nanti para

imam/penguasa yang mereka itu tidak

berpegang dengan petunjukku dan

tidak mengikuti cara/jalanku. Dan

akan ada diantara para penguasa

tersebut orang-orang yang berhati

setan namun berbadan manusia.”

Hudzaifah berkata: “Apa yang

kuperbuat bila aku mendapatinya?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda: “Hendaknya engkau

mendengar dan menaati penguasa

tersebut walaupun punggungmu

dicambuk dan hartamu dirampas

olehnya, maka dengarkanlah

(perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR.

Muslim dari shahabat Hudzaifah bin

Al-Yaman, 3/1476, no. 1847).

3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda:

“Seburuk-buruk penguasa kalian

adalah yang kalian benci dan mereka

pun membenci kalian, kalian mencaci

mereka dan mereka pun mencaci

kalian.” Lalu dikatakan kepada

Rasulullah: “Wahai Rasulullah,

bolehkah kami memerangi mereka

dengan pedang (memberontak)?”

Beliau bersabda: “Jangan, selama

mereka masih mendirikan shalat di

tengah-tengah kalian. Dan jika kalian

melihat mereka mengerjakan

perbuatan yang tidak kalian sukai,

maka bencilah perbuatannya dan

jangan mencabut/meninggalkan

ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari

shahabat `Auf bin Malik, 3/1481, no.

1855)

Para ulama kita pun demikian adanya.

Mereka (dengan latar belakang

daerah, pengalaman dan generasi

yang berbeda-beda) telah

menyampaikan arahan dan

bimbingannya yang amat berharga

seputar permasalahan ini,

sebagaimana berikut:

Shahabat Ali bin Abi Thalib

radhiallahu ‘anhu berkata:

“Urusan kaum muslimin tidaklah stabil

tanpa adanya penguasa, yang baik

atau yang jahat sekalipun.”

Orang-orang berkata:

“Wahai Amirul Mukminin, kalau

penguasa yang baik kami bisa

menerimanya, lalu bagaimana dengan

yang jahat?”

Ali bin Abi Thalib berkata:

“Sesungguhnya (walaupun) penguasa

itu jahat namun Allah Subhanahu wa

Ta’ala tetap memerankannya sebagai

pengawas keamanan di jalan-jalan

dan pemimpin dalam jihad” (Syu’abul

Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13,

hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul

Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus

Salam bin Barjas hal. 57).

Al-Imam Ibnu Abil `Iz Al-Hanafi

berkata:

“Adapun kewajiban menaati mereka

(penguasa) tetaplah berlaku walaupun

mereka berbuat jahat. Karena tidak

menaati mereka dalam hal yang

ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan

yang jauh lebih besar dari apa yang

ada selama ini. Dan di dalam

kesabaran terhadap kejahatan mereka

itu terdapat ampunan dari dosa-dosa

serta (mendatangkan) pahala yang

berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-

Thahawiyah hal. 368).

Al-Imam Al-Barbahari berkata:

“Ketahuilah bahwa kejahatan

penguasa tidaklah menghapuskan

kewajiban (menaati mereka, -pen.)

yang Allah Subhanahu wa Ta’ala

wajibkan melalui lisan Nabi-Nya.

Kejahatannya akan kembali kepada

dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-

kebaikan yang engkau kerjakan

bersamanya akan mendapat pahala

yang sempurna insya Allah. Yakni

kerjakanlah shalat berjamaah, shalat

Jum’at dan jihad bersama mereka,

dan juga berpartisipasilah

bersamanya dalam semua jenis

ketaatan (yang

dipimpinnya).” (Thabaqat Al-

Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36,

dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah,

hal. 14).

Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari

berkata:

“Telah sepakat para ulama ahli fiqh,

ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari

kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan

Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak

generasi pertama umat ini hingga

masa kita ini: bahwa shalat Jum’at,

Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina

dan Arafah, jihad, haji, serta

penyembelihan qurban dilakukan

bersama penguasa, yang baik

ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal.

276-281, dinukil dari Qa’idah

Mukhtasharah hal. 16).

Al-Imam Al-Bukhari berkata:

“Aku telah bertemu dengan 1.000

orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah

dan Madinah), Kufah, Bashrah,

Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir.”

Kemudian beliau berkata: “Aku tidak

melihat adanya perbedaan diantara

mereka tentang perkara berikut ini

beliau lalu menyebutkan sekian

perkara, diantaranya kewajiban

menaati penguasa (dalam hal yang

ma’ruf).” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-

Lalika`i, 1/194-197).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani

berkata:

“Di dalam hadits ini (riwayat Al-

Bukhari dan Muslim, dari shahabat

Abu Hurairah di atas,-pen.) terdapat

keterangan tentang kewajiban menaati

para penguasa dalam perkara-perkara

yang bukan kemaksiatan. Adapun

hikmahnya adalah untuk menjaga

persatuan dan kebersamaan (umat

Islam), karena di dalam perpecahan

terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz

13, hal. 120).

Para pembaca yang mulia, dari

bahasan di atas dapatlah diambil

suatu kesimpulan bahwasanya:

1.Shaum Ramadhan merupakan syi’ar

kebersamaan umat Islam yang harus

dipelihara.

2.Syi’ar kebersamaan tersebut akan

pudar manakala umat Islam di

masing-masing negeri bercerai-berai

dalam mengawali dan mengakhiri

shaum Ramadhannya.

3.Ibadah yang bersifat kebersamaan

semacam ini keputusannya berada di

tangan penguasa umat Islam di

masing-masing negeri, bukan di

tangan individu.

4.Shaum Ramadhan bersama

penguasa dan mayoritas umat Islam

merupakan salah satu prinsip agama

Islam yang dapat memperkokoh

persatuan mereka, baik si penguasa

tersebut seorang yang adil ataupun

jahat. Karena kebersamaan umat

tidaklah mungkin terwujud tanpa

adanya ketaatan terhadap penguasa.

Terlebih manakala ketentuannya itu

melalui proses ru`yatul hilal di

sejumlah titik negerinya dan sidang-

sidang istimewa.

5.Realita membuktikan, bahwa

dengan bershaum Ramadhan dan

berhari-raya bersama penguasa (dan

mayoritas umat Islam) benar-benar

tercipta suasana persatuan dan

kebersamaan umat. Sebaliknya ketika

umat Islam berseberangan dengan

penguasanya, suasana perpecahan di

tubuh umat pun demikian mencolok.

Yang demikian ini semakin

menguatkan akan kewajiban

bershaum Ramadhan dan berhari-

raya bersama penguasa (dan

mayoritas umat Islam).

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy

Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006,

tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Lc, judul asli Shaum Ramadhan dan

Hari Raya Bersama Penguasa, Syi’ar

Kebersamaan Umat Islam.)

Semoga awal puasa dan hari raya

Idul Fitri pada tahun ini bisa

dilakukan secara serentak di tanah

air.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Monday, July 9, 2012

KENAPA AJARAN KOMUNISME HARUS DITAKUTI DI INDONESIA?


Apa perbedaan dari Indonesia sebelum 1965 dan sesudahnya? pertanyaan ini saya lontarkan dalam kaitannya dengan pelarangan ajaran komunisme di Indonesia. Perlu diingat kembali bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia dijamin secara lisan maupun tulisan dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka pelarangan sedemikian tentunya melanggar atau dengan kata lain seolah mengesampingkan UUD negara yang wajib dipatuhi oleh semua pihak tanpa kecuali.  Kalau sekarang komunisme dilarang di Indonesia, apakah sebelum tahun 1965 Pancasila dan UUD 1945 yang dianut oleh Indonesia berbeda?


Kalau bangsa Indonesia saat ini ditanya mengapa anda menentang ajaran komunisme, kemungkinan besar tentu tidak dapat menjawab pertanyaan itu, kecuali mengatakan hal-hal klise yang sudah kita sering dengar selama perjalanan rezim Orde Baru terutama dalam penataran P4 (ideologisasi Pancasila versi Soeharto – beruntunglah generasi sekarang yang tidak perlu lagi mengikuti penataran ini), yakni komunisme itu ateistis, anti-ketuhanan. Atau, kemungkinan yang paling nyata adalah kemungkinan dia (rakyat) takut berbeda pendapat, padahal ia harus menyanyikan lagu yang sama, nyanyian “Anti-komunisme”. Jadilah orang Indonesia naif karena menentang komunisme tanpa memahami perihal dan ajaran seutuhnya dari komunisme. Jadi agar rakyat Indonesia secara keseluruhan tidak naif, komunisme di Indonesia perlu dipelajari. Karena ajaran komunisme bukanlah merupakan makhluk menakutkan yang berwujud seperti setan atau jin. Sekolah-sekolah, setidaknya mulai sekolah menengah atas saya kira perlu mengenalinya, dan bukan berarti untuk kemudian menganutnya, melainkan untuk menolaknya secara sadar, maksudnya membuktikan bagaimana ideologi ini berfungsi didalam praktiknya. Menurut pendapat saya, dengan mengenal ajaran komunisme bangsa Indonesia justru akan memperkuat kedudukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara – saya percaya akan hal ini. Modal utama bagi penentangan komunisme adalah kemakmuran rakyat. Kenapa? Karena dilihat dari sejarahnyapun ajaran dan ideologi Komunis memang sangat menarik bagi rakyat jelata yang miskin. Hal itu bukan saja terlihat dan terasa jelas dari propaganda ajarannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata untuk mencukupi kebutuhan material mereka terutama memenuhi kesejahteraan rakyat seperti sekolah gratis, kesehatan dijamin negara, pekerjaan yang layak dll. Kita ambil contoh misalnya Cina. Rakyat Cina berjumlah lebih dari 1 milyar. Kita tak pernah dengar kelaparan dan ketelanjangan di Cina. Karena komunisme di sana mampu memenuhi janji memakmurkan rakyatnya, untuk itulah alasannya kenapa komunisme di Cina laku sampai hari ini. Namun, supaya tetap laku, komunisme Cina meliberalisasikan komunismenya, seperti misalnya merebaknya kebebasan beragama dan beribadah diseluruh dataran Cina. Jadi komunisme asli tidak ada lagi – mungkin hanya di Korea Utara.  Untuk itulah selama negara dapat memakmurkan rakyat, siapapun sebenarnya tidak perlu takut akan bahaya laten komunisme. Justru malah kita harus mampu menjinakkan komunisme menjadi “makhluk” baru yang bersahabat dengan kita yang bukan penganut komunisme. Dunia kita dewasa ini bukan lagi dunianya Stalin atau Mao Zedong, namun telah menjadi zaman pendekatan globalisasi. Yang harus dilakukan sekarang di Indonesia adalah mencabut Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan Ajaran Marxisme-Leninisme karena Tap ini jelas-jelas tidak menghormati HAM dan sebagai bangsa yang besar dan lahir batin menjunjung tinggi Pancasila sudah seharusnya menghilangkan perbedaan-perbedaan yang lahir dan tumbuh dalam masyarakat.
Dikutip dari: http://bit.ly/MZ3Bb3
http://tsakti.wordpress.com

Berhala Terbaru

Keluarga anda adalah  sasaran KG. Mengapa ? Ikatan kekeluargaan dan hubungan ke Tuhanan seluruh ummat akan dihapus secara sistematis oleh KG. Dan KG sdh berhasil mengkikis hubungan kekeluargaan melalui konsep globalisasi disegala lini dengan menonjolkan HAK Asazi. KEWAJIBAN terhadap Keluarga dan Agama dieliminasi KG, agar muncul egoisme yg memproduk narsis hedonisme. Menghancurkan Azas kekeluarga keseimbangan KEWAJIBAN dan HAM inilah sebagai target KG melalui Jargon DEMOKRATISASI. Protokol menghapus keluargaan KG dirancang scr elegan dengan softpower yg nyaris invisible bagi mereka yg normatif dlm bersikap. Perlaku normatif publik yg jauh dari sikap kewaspadaan inilah sbg pintu masuk KG menyelinap kedlm sisi kehidupan berkeluarga. KG menggunakan TI media, sangat masif nyaris menghilangkan dimensi Ruang dan Waktu menjadi kekuatan yg sulit terbendung. Kekuatan raksasa TI tlah mgempur panca indra relung HATI manusia disetiap aktivitas shg menjelma jadi BERHALA terbarukan. Berhala terbarukan (HP, tweet, fb, TV dst) Ini berdegup menguasai otak hati tanpa mampu di lawan,direspon scr agresif kapan-dimanapun. Penjajahan oleh TI dihati pikiran inilah sbg langkah sukses KG meniadakan hubungan keluarga,agama dan Tuhan.Mengapa KG sukses ?


Pernahkah dihitung dibandingkan brp lama sobat kegiatan mengingat Tuhan dibanding dg kegiatan yg lain? Manusia mengingat Sang Pencipta tidak lebih dr 10 hr/th, tidur 90hr/th, 250 hr tersisi digunakan KG brainwash(cuci otak), hasilny hedon narsis melalui media tekhnologi dan sosial media. Kwalitas rendah manusia hedonis narsis inilah jadi produk akhir KG agar dunia dikuasai mereka hingga akhir jaman kelak.

Secara elegan terstruktur KG memanfaatkan berkonspirasi dengan anasir jahat-setan yg sejak dini bersemayam dihati manusia. Dan ketika seorang anggota keluarga terlibat hedonnarsis narkoba, porno dst, maka keluarga-negara diambang kehancuran, hanya tunggu waktu.
Selamatkan diri sendiri, keluarga dengan mohon pertolongan NYA, hanya kpd NYA lah tempat manusia bergantung, slamat beristirahat bsama keluarga .salam


key ~> KG; konspirasi global

by

Wednesday, June 20, 2012

KATA BIJAK MUTIARA bahasa jawa dan artinya

Kata Bijak Mutiara Bahasa Jawa

dan Artinya. Bahasa jawa

merupakan salah satu bahasa

daerah yang populer. Tidak bisa

dipungkiri, di internet banyak orang

yang mencari data atau artikel

bahasa jawa, diantaranya : video

lucu banyak di tonton, bahasa jawa,

kumpulan MUTIARA ISLAM, pantun

nasehat bahasa jawa dan bahkan

kata-kata bijak bahasa jawa serta

kata mutiara bahasa jawa.

Sebagai orang jawa tulen,

duniabaca.com merasa bangga, ya

meskipun dalam pergaulan

terkadang kesel jika di panggil

dengan sebutan JAWIR, apalagi yang

ngomong/manggil jawir adalah

orang jawa juga, Hhhhmmmmm

gedeg banget .

Ok…. di bawah ini duniabaca.com

share kata mutiara dalam bahasa

jawa yang dilengkapi dengan

artinya, dimana kata bijak bahasa

jawa ini dikutip dari berbagai

sumber.

Pesan Sponsor

Sabar iku ingaran mustikaning laku

Artinya:

Bertingkah laku dengan

mengedepankan kesabaran itu

ibaratkan sebuah hal yg sangat

indah dalam sebuah

kehidupan

Sabar iku lire momot kuwat

nandhang sakehing coba lan

pandhadharaning ngaurip

Artinya:

Sabar itu merupakan sebuah

kemampuan untuk menahan

segala macam godaan dalam

hidup, yg tentunya nanti bisa

untuk mendewasakan diri kita

masing-masing

Jumbuh karo unine bebasan, sabar

iku kuncining swarga, ateges

marganing kamulyan

Artinya:

Sama seperti bunyi sebuah

peribahasa, berlaku sabar itu

adalah “jalan utama” untuk

mendapatkan “surga”. Yang

dimaksud disini adalah

ketentraman dan kedamaian

dalam menjalani kehidupan

Nanging ora ateges gampang pepes

kentekan pengarep-arep

Artinya:

Akan tetapi bukan berarti lalu

kita gampang kehilangan

pengharapan

Suwalike malah kebak pengarep-

arep lan kuwawa nampani apa bae

kang gumelar ing salumahe jagad iki

Artinya:

Justru sebaliknya kita harus

menjalaninya dengan penuh

pengharapan dan seolah-olah

mampu untuk mendapatakan

apa saja yang ada di dunia ini.

Tentunya dengan disertai rasa

mawas diri dan kepasrahan

by menjelma.com

Published with Blogger-droid v2.0.4

Wednesday, February 8, 2012

Tentang Pluralisme Agama.


Pluralisme mempunyai pengertian secara bahasa dan istilah yang beraneka-macam:
a)  Pengertian secara bahasa: Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini:
1. Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
2. Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran.[1]

b) Pengertian secara istilah: Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam penggunaan:
1. Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan.
Dalam definisi ini, keragaman dan kejamakan diterima sebagai suatu realitas kemasyarakatan. Yakni para pengikut masing-masing dari agama dan mazhab, dalam kenyataan mereka memandang bahwa hanya diri mereka yang benar dan ahli selamat, dalam bergaul dan bermasyarakat dengan para pengikut agama dan mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling menghormati.
Kita menerima pengertian pluralisme ini. Sebagaimana pluralisme yang terjadi di antara dua firkah dalam satu mazhab, antara dua mazhab dalam satu agama, dan antara dua agama Ilahi serta antara agama-agama non-wahyu. Kita memiliki banyak ayat-ayat yang berkenaan bentuk pluralisme ini, di antaranya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. al-Mumtahanah [60]: 8)
Makna ayat ini adalah berprilakulah secara baik dan adil terhadap orang-orang kafir yang berprilaku secara baik dan adil terhadapmu. Yakni orang-orang yang berbeda denganmu dari segi agama (apatah lagi perbedaan dari segi mazhab dan firkah), bergaullah dengan mereka secara adil, baik, dan toleran selama mereka tidak memerangimu.

2. Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada arasy pemahaman agama. Sekelompok orang memahami perkara Ilahi dalam satu bentuk maka mereka menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya dalam bentuk lain maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan adapun orang-orang Muslim dan pengikut-pengikut agama lainnya memahami perkara-perkara Tuhan dalam bentuk yang berbeda dengan kedua pengikut agama tersebut di atas.
Setiap nabi mempersepsi dan menjelaskan hakikat dalam suatu bentuk tertentu. Karena itu, satu berkata dan berpandangan tauhid dan lainnya (al-‘iyâdzu bi-llah) berkata dan berpandangan trinitas. Setiap orang, sesuai dengan persepsi dan pemahamannya, memahami suatu bentuk dari hakikat ini. Dan tidak seorangpun yang mempunyai  kelebihan pemahaman dibanding pemahaman yang lainnya. Kita tidak hanya mempunyai satu jalan lurus, tetapi kita mempunyai jalan-jalan lurus dan semua mereka terhitung benar.
Apa yang mampu diraih dan dijangkau oleh manusia, bahkan para nabi, tidak mempunyai jaminan kesahihan secara mutlak dan bukan hakikat tetap Ilahi. Apa  yang ada dalam koridor makrifat kita, itu hanyalah hasil dari penangkapan mental (dzihni)  masing-masing dari setiap para nabi yang tidak terlepas dari pengetahuan-pengetahuan alami, fisika, kemasyarakatan, politik, dan nilai-nilai yang berkuasa pada setiap zaman dari mereka.
Dalam definisi pluralisme ini, diakui bahwa terdapat satu hakikat yang mutlak dan tetap, akan tetapi hakikat yang berbetuk murni sama sekali tidak sampai ke tangan manusia, termasuk para nabi As. Natijahnya, tidak satupun agama dan maktab yang mengungguli agama dan maktab lainnya. Di dalam satu agama yang sama juga tidak terdapat satu mazhab yang mengungguli mazhab lainnya.
Pandangan ini dinisbahkan dengan muhkamât (hal-hal yang pasti dan tetap) dan dharuriyyât (hal-hal yang mesti dan niscaya) agama tidak dapat dibenarkan dan merupakan tinjauan dan ungkapan yang sangat salah, tetapi dalam bentuk yang sederhana dan dalam batas masalah-masalah teoritis dan hipotesa dapat dikaji lebih jauh. Kami dalam silsilah pembahasan mendatang akan menyinggung masalah ini dan melakukan kritik dan isykalan terhadapnya.

3. Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar.
Pengertian ini sudah jelas salah dan tidak dapat diterima, sebab hal-hal yang saling kontradiksi adalah sesuatu yang secara aksiomatis invalid (batil). Pluralisme dangan makna ini adalah suatu bentuk konsep yang murni impor dari dunia Barat dan mempunyai akar perbedaan antara teologi Kristen dan gereja dengan hasil penemuan ilmu-ilmu empirik. Karena kita tidak mempunyai masalah dalam hal ini (sebagaimana ajaran gereja dengan hasil penemuan ilmu dan sains), maka kita tidak perlu mengupas dan mengkajinya lebih lanjut.

4. Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memiliki satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi kita mempunyai keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki saham hakikat. Dalam agama Islam, hanya sebagian dari hakikat dapat ditemukan. Demikian juga dalam agama Nasrani, bagian yang lain dari hakikat dapat dijumpai dan dalam agama Yahudi, Budha, Hindu, penyembahan berhala, dan lain sebagainya, bagian yang lain dari hakikat dapat ditemukan. Dengan tinjauan ini maka kita tidak mempunyai satu agama yang sama sekali tidak memiliki saham dari hakikat. Bahkan, dalam setiap agama dapat ditemukan saham  dari hakikat dan kebenaran.[2] Oleh karena itu, tidak satupun dari agama-agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai agama yang mencapai hakikat secara keseluruhan dan sempurna. Tidak Islam, tidak Nasrani, tidak Yahudi, tidak Budha, dan tidak yang lainnya.
Kita kaum Muslimin tidak dapat menerima pluralisme dengan makna ini, sebab agama Islam merupakan agama yang komprehensip, sempurna, dan meliputi seluruh hakikat-hakikat dan kebenaran yang dimiliki agama-agama lainnya. Agama ini tidak hanya mengandung sebagian dari hakikat, tapi seluruh hakikat yang datang dari Tuhan. Pengkajian dan pengupasan tentang benar dan salahnya masing-masing dari makna pluralisme di atas akan diuraikan pada pembahasan-pembahasan berikutnya berkenaan dengan topik ini.

Latar Belakang Historis Pluralisme
Pandangan kejamakan dan keragaman (pluralisme) yang dinisbahkan kepada agama, merupakan suatu konsep yang dikonstruksi oleh para cendikiawan, pemikir, dan teolog barat yang dipengaruhi oleh suatu pandangan filsafat khusus untuk menjawab dan memecahkan sebagian masalah-masalah akidah dan keyakinan dan juga untuk memecahkan sebagian dari masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul. Jadi pada dasarnya, pluralisme adalah suatu konsep yang terbangun dalam teologi Kristen. Karena itu, jika kita tidak mengetahui teologi Kristen dan perbedaan yang ada di antara firkah-firkah dalam agama ini, maka kita tidak akan dapat memahami secara benar pluralisme.
Agama-agama yang diterima masyarakat dunia, dari segi rasionalitas prinsip dan landasan mereka dapat dibagi ke dalam dua kelompok:                
Pertama: Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya adalah rasional. Yakni pembawa dan muballig agama tersebut menunjukkan prinsip dan dasar utama agamanya dan para pengikut mereka, sampai kadar tertentu dalam wilayah persepsi, mengkonsepsi dan membenarkan prinsip dan dasar agama tersebut. Sebagai misal: Keyakinan terhadap keberadaan (wujud) Allah Swt dan wujud inilah yang sebagai mabda, pencipta, pemilik, pengatur, dan penguasa absolut eksistensi. Dia adalah Mahatahu dan Mahakuasa serta di tangan-Nyalah pengaturan alam semesta dan manusia.
Manusia, setelah menempuh kehidupan dunia ini akan memasuki babak lain dari kehidupan yang disebut kehidupan ukhrawi. Bagaimana corak dan warna kehidupan ini –dari segi kebahagiaan dan penderitaan- ditentukan oleh hasil amal perbuatan mereka dalam kehidupan dunia. Prinsip dan dasar ini, semuanya memiliki landasan rasional, yakni alat dan sistem persepsi manusia mampu mengkonsepsi dan menghukumi mereka. Misalnya akidah tentang mabda alam semesta ini bersandarkan kepada prinsip dan hukum kausalitas, dimana konsepsi tentang kaidah ini bahkan akal yang sederhanapun dan bahkan dalam masalah ini bahkan sebagian dari hewan-hewan juga mempersepsinya. Bahwa setiap maujud dan fenomena merupakan hasil dari keseluruhan faktor-faktor dan sebab-sebab,  ini adalah suatu perkara badihi (aksiomatis), disaksikan, dan dialami dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, agama-agama yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip ini akan mendapatkan pengakuan rasionalitas, dengan kata lain mendapatkan bagian dan saham pembenaran dan penerimaan akal.
Penerimaan prinsip-prinsip di atas, pada dasarnya dapat dalam bentuk murni analisa akal tanpa butuh kepada perantara lain seperti perasaan, iradah, atau pemisahan wilayah akal dan iman. Akan tetapi dalam teologi Nasrani terdapat  bentuk penerimaan prinsip-prinsip tersebut dengan perantara pemisahan wilayah akal (penerimaan dengan argumen rasional) dan wilayah iman (penerimaan dengan murni iman).
Kedua: Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya adalah non-rasional. Maksud kami dari non-rasional atau tidak rasional adalah suatu qadiyyah (proposisi) sedemikian hingga akal manusia tidak mampu menemukannya dan tidak dapat menampungnya. Atau proposisi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berkuasa secara hukum rasional dalam akal manusia, sehingga natijahnya tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh akal kita. Seperti bentuk ungkapan pengikut Nasrani, Isa Masih mempunyai sisi ketuhanan dan juga sisi kemanusiaan (manusia biasa) dan Tuhan adalah satu dzat yang terdiri tiga oknum; bapak, anak, dan ruhul qudus.
Agama-agama dan maktab-maktab seperti maktab Hindu, Budha, dan juga teologi Kristen tidak bisa terhindar dari pilar agama yang non-rasional dan bertolak belakang dengan makrifat. Oleh karena itu, di antara teolog Kristen terdapat orang-orang yang menolak rasionalitas dalam agama sampai batas ekstrim, dimana mereka memutus sama sekali akar pemakaian akal (rasionalitas) dalam masalahhaqqaniyyat (kebenaran) agama. Pluralisme agama dalam hal ini merupakan satu bentuk doktrin tentang penjauhan agama dari analisa akal, bahkan bisa dikatakan suatu bentuk permusuhan dengan akal sebagai antitesa dari rasionalisme Decartian.
Richard Swinburne memandang bahwa pembelaan agama secara rasional tidak diperlukan. Swidler, mengambil kadar cakupan kebenaran sedemikian luasnya, sehingga tidak hanya meliputi seluruh agama-agama dari agama tauhid (monoteisme), politeisme, dan penyembahan berhala, bahkan juga memuat maktab-maktab non-agama seprti komunisme ateis. William P. Alston memandang bahwa penalaran yang digunakan untuk memecahkan perbedaan-perbedaan teoritis agama secara keseluruhan adalah tidak mungkin dan memandang ke-posibelan kebenaran pengalaman-pengalaman keagamaan yang saling bertentangan.
Immanuel Kant (1729-1809) menakwilkan bahwa teologi Kristen serupa dengan proposisi-proposisi yang berfaedah. Dia memisahkan antara nomen (hakikat sesuatu) dan phenomen (penampakan sesuatu), serta memandang bahwa terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan dan realitas. Pandangannya ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari  proposisi-proposisi agama.
Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M), dalam pertengahan abad 20, memandang bahwa keseluruhan akidah dan proposisi-proposisi teologis merupakan aplikasi bahasa dalam dimensi penampakan kebersamaan dalam gambaran kehidupan agama dan sama sekali tidak mempunyai validitas rasional serta tidak dapat meluaskan lingkup kemestiaan teorisnya. Karl Barth (1886-1968 M), membedakan secara makrifat antara hakikat-hakikat ketuhanan dengan pembahasan-pembahasan lainnya dan memandang bahwa segala sesuatu bergantung kepada inayah (Tuhan), karena itu, segala usaha ilmu dan pengetahuan manusia tidak akan memperoleh hasil.
Semua ini merupakan penggalan-penggalan pemikiran yang terpisah-pisah yang menjadi cikal bakal pertentangan epistemologis dalam bab agama, akhlak, dan teologi keagamaan. Di mana salah satu dari konklusi logis dari pertentangan epistemologis tersebut adalah penegasian kebenaran dari semua agama-agama. Dalam atmosfir keberagamaan Kristen, orang-orang akan berhadapan dengan keimanan kepada prinsip dan dasar teologi yang kontra rasionalitas, akan tetapi pada saat yang sama mereka mesti meyakininya. Dalam agama ini, tujuan adalah kelangsungan hidup, bukan pengetahuan dan menurut perkataan Paulus Rasul: Tuhan memilih orang-orang bodoh alam (dunia) sehingga membuat hina (mempermalukan) para penguasa.[3] Semua ini merupakan suatu motif kontra makrifat, padahal pada hakikatnya agama itu sendiri mesti berasaskan makrifat yang benar. Sebagaimana Tuhan berfirman: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya menyembah-Ku”[4], di mana sebagian dari mufassir menjelaskan bahwa pengertian kalimat ‘supaya menyembah-Ku’ adalah ‘supaya mengetahui dan memakrifati-Ku’. Dan dalam hadits kudsi terdapat riwayat: Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi… maka Aku menciptakan makhluk agar Aku diketahui, yakni riwayat ini menjelaskan bahwa asas penciptaan itu sendiri adalah makrifat. Oleh karena itu, sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam agama Islam terdapat berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Maksumin yang menjelaskan bahwa mizan daripada nilai akidah dan amal adalah derajat tafakkur (rasionalitas) seseorang.


Aspek sosial sebagai wadah pluralitas agama
Dari konstelasi pemikiran diatas adalah mustahil untuk mendudukan pengertian pluralitas agama seperti yang dirumuskan umpamanya oleh John Hick (2002), bahwa perbedaan agama itu hanyalah merupakan perbedaan persepsi dan konsepsi serta respon yang berbeda terhadap yang maha kuasa dan realitas yang satu (Tuhan). Karena itu, menurut John Hick semua agama pada hakekatnya adalah sama.
Paham ini seperti juga ditegaskan oleh Thoha (2009) mengakibatkan terjadinya terminasi dalam agama, pengebirian pengertian agama dan penghilangan peran agama-agama yang secara otomatis akan digantikan oleh sebuah agama baru yang bernama ‘pluralisme agama,’ (agama gado-gado) yang pada akhirnya akan menghapuskan agama itu sendiri. Paham pluralisme agama seperti itu sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan dalih menerima kebenaran semua agama-agama itu.
Dalam teologi Islam umpamanya, pengakuan akan siapa Tuhan yang sebenarnya menciptakannya (Allah), dan siapa orang yang layak dirujuk ajarannya (Muhammad Saw) merupakan pengakuan yang paling asasi dalam kehidupan seorang Muslim. Dan konsep yang sangat eksklusif itu dibangun di atas syahadat (pengakuan) sebagai seorang Islam.
Islam menempatkan pluralisme agama dalam aspek sosial agama (hablulminannas). Secara fungsional kedudukan manusia dalam aspek sosial ini, menurut Islam sangat penting. Islam secara teguh menyatakan bahwa manusia yang mulia disisi Tuhannya adalah manusia yang berguna untuk sesamanya. Dalam ranah sosial agama ini tidak hanya dapat dipergunakan sebagai arena komunikasi dan kegiatan antar warga komunitas yang berbeda agama. Tetapi juga aspek ini dapat dipergunakan oleh umat Islam yang corak keberagamaannya sangat pluralitas. Seperti tampak pada banyaknya aliran keagamaan (mazhab), corak budaya-agama, organisasi Islam dan partai politik Islam.
Tetapi dari wilayah ‘aspek sosial’ inilah akan mekar ‘civil society,’ dimana setiap warga dari berbagai agama dan aliran agama bebas berkembang. Sebagai pendukung ‘civil society’ setiap warga harus menerima bahwa semua agama yang telah diakui negara, secara konstitusional baik dan benar, walaupun secara pribadi dan individual dia berkeyakinan bahwa agamanyalah bagi dia yang paling benar dan sesuai. Kercuali agama atau aliran kepercayaan yang bersikap sektarian, tertutup dan diskriminatip serta melanggar prinsip-prinsip kebangsaan, maka negara berkewajiban menghakimi agama atau aliran kepercayaan itu.
Dengan demikian maka pluralisme memiliki tiga inti pandangan hidup: (1) kebebasan beragama, berkepercayaan, dan menjalankan ibadah bagi setiap warga, (2) keadilalan bagi setiap agama dan aliran kepercayaan, sepanjang tidak melanggar konstitusi, hukum dan kesepakatan sosial dan norma-norma moral dan kesusilaan , dan (3) rasa hormat dan toleran (menjauhi konflik) dalam menghargai kemajemukan.
Dari uraian diatas dapat dilhat, kendatipun kehidupan pluralitas agama itu berlangsung dalam ranah sosial agama-agama, pemerintah sebagai manager masyarakat tidak harus absen. Pemerintah, seperti ditugaskan oleh konstitusi kita harus melindungi agama yang telah akui, tetapi tidak boleh bertindak merepresentasikan agama tertentu. Sebab itu, pemerintah harus aktif dan antisipatif terhadap semua kemungkinan gangguan yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan, apalagi konflik terbuka.
Sangat disayangkan bahwa dalam banyak fakta pada setiap kerusuhan, pemerintah selalu ‘kecolongan,’ karena kurang antisipatif terhadap perkembangan kehidupan antar umat beragama dalam masyarakat pluralistis. Dalam banyak kasus sewasa ini terkesan malah pemerintah melakukan ‘pembiaran’ sampai masalah itu meluncur menjadi konflik terbuka. Sikap antisipatif tidak hanya penting untuk aparat keamanan dan pejabat pemerintah, tetapi juga untuk para tokoh-tokoh masyarakat, terutama tokoh-tokoh generasi mudanya seperti dari PII, HMI GMKI atau PMKRI.
Sistem Kehidupan Masyarakat Pluralis
Seperti diketahui kehidupan pluralis telah dikenal dalam sejarah Islam sejak Nabi Muhammad membangun kota Madinah (berasal dari kampung Yatsrib), hampir lima belas abad yang lalu. Kota baru ini dihuni oleh berbagai bangsa dan kelompok etnis. Orang Arab yang telah beragama Islam terdiri dari dua kelompok (Ansor dan Muhajirin), Arab yang non-Islam (terdiri dari kelompok etnik Aus, dan Khasraj), sedang dari kelompok Jahudi, Bani Nadir dan Quaraizhah.
Piagam kebersamaan hidup mereka di kota Madinah itu, bersifat demokratis dan terbuka, kemudian dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Nabi Muhammad Saw. dengan persetujuan semua pihak selalu memperbaharui piagam tersebut seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat majemuk itu. Setiap Kepala Suku (bani) Arab dan kelompok Yahudi menandatangani piagam itu. Selain peraturan kehidupan bersama dalam memamfaat berbagai sumber dan falisitas kota yang ada, dalam piagam ini juga ditetapkan kewajiban setiap warga wajib membela kota Madinah, dan menanggung biaya untuk mempertahankan kota itu apabila terjadi peperangan.
Siapa saja yang melanggar peraturan, termasuk umat Islam akan ditindak sesuai dengan kesalahannya. Seperti Bani Nadhir, karena berkhianat diusir dari kota Madinah. Madinah merupakan masyarakat civil (civil society) pertama di dunia. Sebab itu, civil society (masyarakat warga) itu disebut juga sebagai Masyarakat Madani. Masyarakat Madani dalam tipologi kota Madinah ini merupakan cikal bakal dari masyarakat madani umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu, dalam merujuk kerukunan agama dalam masyarakat pluralistis umat Islam selalu mengacu kepada pola masyarakat pluralistis kota Madinah.
Pluralisme dalam Alquran
Alquran mengandung banyak bagian yang memuat dan mendukung pendekatan pluralistik terhadap keanekaan agama dalam masyarakat. Dalam bidang akidah Alquran memberi petunjuk kepada umat Islam apa yang harus dinyatakan kepada kaum Nasrani dan Yahudi : ‘ Kami mempercayai apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan kami percaya kepada apa-apa yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah tunggal, dan kepadaNya kita berserah diri’ (Alquran 28:46). Dalam kaitan kebersamaan itu juga Alquran mengingatkan bahwa Tuhan dengan sengaja menciptakan umat manusia dalam beraneka agama, bangsa, ras, suku agar dengan demikian mereka saling mengenal antar satu sama lain (Alquran 49:13) dan agar mereka berlomba satu sama lain (Alquran 2:148).
Ayat-ayat itu menurut sahabat saya Syafii Maarif, menggalakkan manusia untuk belajar menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara damai. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia di muka bumi. Tuhan menyandangkan kemuliaan dan martabat itu atas seluruh manusia. Terbukti dari sebutan pertama kepada manusia sebagai ‘anak-anak Adam’ (Alquran 17:70) dan yang kedua secara potensial adalah ‘deputi’ (khalifah) Tuhan (Alquran 2:30). Karena itu dikatakan bahwa :’Setiap manusia telah dilimpahi martabat oleh Tuhan’ (Alquran 7:172-173). Alquran melarang penindasan yang bersifat agama dalam bentuk apapun : ‘Tidak ada paksaan dalam agama’ (Alquran 2:256).
Bahwa memang ada pernyataan-pernyataan negatip dalam Alquran tentang orang Kristen dan Yahudi. Menurut Dr.Erdal Toprakyaran, seorang intelektual Muslim terkemuka di Jerman, kalau diteliti secara arif, pernyataan-pernyataan negatif dalam Alquran itu sengaja diturunkan Tuhan di saat-saat permusuhan antara orang Islam dan Kristen atau Yahudi dan karenanya tidak berlaku di waktu damai. Pernyataan Dr. Torakyaran ini perlu digarisbawahi, karena dia telah memberikan latar sejarah (kontektualitas-asbanunnuzul) terhadap ayat-ayat tertentu yang diturunkan.

Skeptis dalam Keimanan Kristen serta Natijahnya
Dalam agama Kristen (Nasrani, Kristen), keyakinan mesti bertumpu pada kekuatan iman dan apa yang akal katakan tentang hakikat sesuatu, selama ia bertentangan dengan keimanan maka tidak akan diterima. Oleh karena itu, semuanya mesti meyakini kepada proposisi-proposisi yang tidak rasional sebagai prinsip dan dasar utama agama. Bentuk keimanan seperti ini tidak lain bermakna pengakuan secara lisan, kendatipun pada hakikatnya teradapat penolakan dan pengingkaran secara akal dan kalbu. Dan keimanan seperti ini senantiasa disertai dengan keraguan dan skeptis dan seorang penganut Kristen akan selalu berkata: Saya dalam realitas ketidak berimanan, mesti beriman. Mereka bahkan untuk keimanan yang disertai dengan keraguan seperti ini juga mengutarakan dampak dan natijahnya, di antaranya:
  1. Keraguan adalah faktor dan penyebab mendasar iman  dan iman yang tidak goyah dengan keraguan bukanlah iman sejati.
  2. Keraguan merupakan penampakan kerendahan hati (tawadhu) dan tanpa kerendahan hati ini maka yang ada pamer keimanan agama dan ini adalah suatu bentuk penaklidan keagamaan.
  3. Keraguan adalah penyebab toleransi keberagamaan dan tanpa hasrat kepadanya maka tidak mungkin tercipta toleransi keberagamaan. Yakni, karena semua mempunyai keraguan terhadap prinsip dan dasar agamanya dan memberi kemungkinan bahwa agama lain yang hak, maka itu mereka toleran dengan para pengikut agama-agama lain dan mereka akan hidup saling rukun.[5]                
Dengan demikian pada abad 20 muncul pembicaraan tentang kerukunan dan toleransi antara umat beragama. Pada awalnya lebih banyak mengarah kepada dimensi akhlak dan masih sedikit perhatian terhadap dasar dan bangunan teoritisnya. Dan pada tingkat penyebaran agama Kristen, senantiasa dipesankan bahwa jangan mengajak pengikut-pengikut agama lain kepada agama Kristen secara paksa.

Faktor-faktor Terbangunnya Pluralisme Sosial
Setelah meluasnya wilayah hubungan antara masyarakat, khususnya setelah peperangan sengit antara agama-agama, mazhab-mazhab, dan firkah-firkah, baik itu perang salib antara kaum Muslimin dengan kaum Nasrani maupun peperangan antara pengikut mazhab-mazhab Kristen satu sama lain, dan dampak-dampak buruk yang ditinggalkan oleh peperangan ini, maka pemikiran ini menguat bahwa mesti agama-agama dan mazhab-mazhab lain secara resmi diterima dan berdamai dengan mereka serta berpikir tentang kemaslahatan masyarakat, karena itu  mesti dibangun kesesuaian di antara mazhab-mazhab dan maktab-maktab yang bermacam-macam.
Di samping itu, sistem kapitalis, setelah mendistorsi akal teoritis dan praktis dan setelah mengenyampingkan tradisi-tradisi keagamaan, dengan bersandarkan kepada akal sebagai alat; yakni menggunakan teknologi dan birokrasi  ke arah kekuatan duniawi, maka tidak ada jalan lain masyarakat terpaksa menerima globalisasi dunia. Sistem ini menuntut hubungan, informasi, dan komunikasi yang demikian luas serta meliputi. Dan sebagai natijahnya, ikatan-ikatan, tradisi-tradisi keagamaan, dan budaya-budaya lokal tidak mampu membendung serangan kekuatan besar yang menggelobal dan mendunia ini. Dalam kondisi inilah wacana pluralisme sosial menjadi bahan perbincangan dan sebagai alternatif pemecahan masalah sosial .            

Pluralisme Agama Dalam Dunia Kristen
Poin penting pluralisme agama dalam dunia Kristen –liberal- adalah masalah doktrin keselamatan (salvation). Dari sudut pandang gereja, Hadhrat Masih (Isa As) merupakan satu-satunya jalan keselamatan dan jalan yang menyampaikan ke surga. Menurut kaum Kristen Protestan, keselamatan ini hanya diperoleh dari jalan iman. Dalam teologi liberal-Protestan, hubungan mukmin dan amal  terputus, sebagaimana diyakini oleh mereka bahwa tidak boleh menunjukkan perasaan di atas akidah dan keyakinan; sebab menurut mereka tidak ada sesuatu yang dinamakan akidah hak yang mesti kita persepsi dan yakini dan meninggalkan hal yang menyalahinya. Kaum Protestan menyatakan agama adalah murni suatu perasaan romantik pribadi dan suatu kecenderungan kalbu yang tidak memiliki parameter untuk dihukumi, dikritik, ditolak, atau diterima. Dalam bentuk pendekatan ini, yang menjadi urgen hanyalah kepemilikan iman, bukan subyek iman. Cara hidup dan cara beramal serta program dan aturan nilai agama-agama, tidak mempunyai nilai penting sampai batas dapat menjadi sumber pertikaian satu sama lain. Dan apa yang menjadi hal dipertanyakan tentang nasib orang-orang lain (di luar pengikut agama Kristen), dengan konsep pluralisme agama, ke-penghuni-an neraka mereka (para pengikut agama-agama lain selain pengikut agama Kristen) dengan berbagai dalil dan kecenderungannya, menjadi hal yang teringkari dan ternafikan.
Lain lagi halnya dalam gereja Katolik, keselamatan dan masuk surga bagi seseorang hanya dapat diperoleh  dengan pelaksanaan upacara khusus. Dalam abad pertengahan, kaum Katolik berkeyakinan bahwa hanya orang yang sudah mandi baptis (dibaptis oleh gereja) yang bisa masuk surga. Menurut mereka, bahkan Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As bukanlah ahli surga, kendati mereka ini sangat dihormati oleh gereja. Mereka ini berada dalam sebuah tempat yang bernama Limpo. Tempat ini berada di antara surga dan neraka dan di sana tidak terdapat kelezatan dan penderitaan. Mereka ini dan orang-orang yang tidak terbaptis tetapi tidak melakukan dosa-dosa besar, tertunda masuk surga dan tinggal di sana sampai Hadhrat Isa As membawa mereka masuk surga pada hari kiamat.
Kemudian terjadi perubahan dalam pandangan gereja, bahwa untuk mandi baptis tidak mesti air disiram di atas kepala, akan tetapi terkadang dengan cara lain juga sudah mencukupi.
Toleran dalam perkara agama dari sisi kaum Katolik sampai pada batas disebutnya sebagai ‘Kristen tanpa nama’ para pengikut agama-agama bukan Kristen dan menyatakan secara jelas, para pengikut agama lain  yang mempunyai kehidupan baik dan bersih, mereka adalah kaum Kristen; kendatipun mereka ini tidak menerima pengajaran dan doktrin Kristen. Natijah ini merupakan hasil penjelasan Konvensi Vatikan II (1962-1965 M). Kemudian salah seorang dari teolog Katolik pada abad 20 bernama Karl Rahner, mengungkapkan bahwa kita mesti memandang sekelompok masyarakat dan agama-agama yang bukan suatu mazhab sebagai orang-orang Kristen. Misalnya jika seorang Muslim, mempunyai kehidupan baik (maksudnya baik dalam amal perbuatan), dia hidup jujur dan bersih, dia juga tidak melakukan perbuatan yang menyalahi ajaran-ajaran Kristen, kita dan Tuhan memandang dia sebagai orang Kristen kendatipun dia tidak melakukan pembaptisan.
John Hick (1922-1982 M), seorang uskup dari sekte Presbyterians yang terdapat di Inggris, mempunyai pengalaman mengajar beberapa tahun di Amerika Serikat dan juga pensiun di sana. Sebelumnya ia di Inggris bagian Timur (Birmingham) banyak bergaul dan bekerja sama dengan orang-orang yang bukan pengikut Kristen seperti orang Islam, Hindu, dan Yahudi. Hubungan dan kerjasama tersebut melahirkan suatu pandangan baru tentang agama-agama dan mazhab-mazhab baginya.
John Hick, sebelum membangun teori pluralisme agama, sebelumnya melakukan kritik terhadap ajaran Kristen tentang pembaptisan, pengaruh gereja memberi keselamatan pada jamaah, dan keyakinan-keyakinan Kristen lainnya. Dan yang paling penting serta paling sentral dari kritiknya adalah keyakinan menitisnya (hulul) Tuhan (tajassud uluhiyyat)  pada diri Nabi Isa As. John Hick berkata: ” Saya sampai pada kesimpulan  bahwa bentuk keyakinan terhadap hulul atau tajassud lahut  pada nasut, yakni hulul-nya Tuhan pada diri Isa Masih As, sebagai suatu bentuk metaphor, majazi, dan atau legenda, bukan sebagai suatu proposisi berbentuk satu hakikat  murni”.[6]
Oleh karena itu, toleransi dalam masalah agama yang dilakukan oleh gereja Katolik sampai batas memandang pengikut agama-agama lain yang dalam kehidupannya bersih dan berakhlak baik, meskipun mereka tidak menerima doktrin dan ajaran Kristen, mereka dianggap sebagai orang-orang Kristen tanpa nama, masih dipandang tidak cukup oleh John Hick, sebab pandangan ini masih menjadikan agama Kristen sebagai tolok ukur dan parameter penerimaan agama-agama dan keselamatan seseorang. Berasaskan tinjauan ini dia mengungkapkan suatu pandangan tentang kebenaran dan keselamatan semua agama-agama dan pangikut mereka sebagai pluralisme agama-agama.
John Hick meletakkan dasar pluralisme agamanya berdasarkan masalah tasybih (penyerupaan), memisahkan pengalaman keagamaan dari penakbiran keagamaan, dan pembicaraan masalah pemahaman mufassir sebagai kesanggupan manusia dalam mengungkapkan kandungan pengalamannya.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan, pluralisme agama, hakikatnya secara epistemologis sangat berkaitan dengan penafian dan penegasian makrifat sesuai dengan realitas’, karena itu kaum pluralis mempunyai masalah dalam asli makrifat. Pada dasarnya semua orang mengakui bahwa kita tidak akan pernah sampai pada makrifat kunh dzat aqdas Tuhan, sebagaimana Dia Allah Swt, tetapi pembicaraan tidak pada tataran ini, pembicaraan berkenaan dengan batas minimum makrifat, dan kadar makrifat terhadap Allah Swt dalam konteks ini adalah tidak mustahil.

Epistemologi Pluralisme John Hick
Epistemologi pluralisme John Hick memiliki bangunan empirisis dan berdasarkan atas penafian kemungkinan ‘pengetahuan sesuai dengan realitas’ khususnya dalam konsep agama, karena itu meniscayakan skeptisisme dalam permasalahan agama-agama.
Pandangan ini dipengaruhi oleh romantisisme Schleiermacher (agama merupakan hasil perasaan pribadi dan tidak mempunyai kandungan makrifat), dan pemisahan nomen dan phenomen Immanuel Kant (pintu makrifat tertutup kepada realitas), relativisme pengetahuan, kesetaraan argumen, dan sebagai natijah akhir dari ini, di antaranya:
Pertama: Tidak boleh menegaskan sesuatu sebagai akidah dan keyakinan hak, sebab ini memestikan pembatilan orang-orang lain. Berasaskan tinjauan ini, dasar dan prinsip keyakinan dan makrifat agama-agama (termasuk agama Islam), paling maksimal dalam batas anutan yang tidak didasari oleh aspek keilmiahan, sehingga tidak satupun dari mereka dapat ditetapkan atau dibatilkan. Dan semua agama-agama serta mazhab-mazhab berposisi sama dan mesti semuanya diterima secara resmi.
Kedua: Agama (syariat), yakni dalam hal ini termasuk hukum-hukum fiqhi Islam, juga menjadi penghalang pluralisme agama-agama. Karena itu, tugas praktis ibadah, manasik, dan hukum-hukum fiqhi tidak boleh dipandang sebagai bagian prinsipil dari keberagamaan.
Ketiga: Akhlak juga mempunyai parameter yang berbeda-beda dan dalam banyak hal tidak dapat dihukumi ajaran akhlak mana yang sahih dan ajaran akhlak mana yang tidak sahih. Oleh karena itu, di samping dalam prinsip akidah dan hukum-hukum fiqih, dalam akhlak juga mesti diterima sejenis relativisme.[7]            
Dalam bentuk tinjauan ini, yang penting hanyalah kepemilikan iman, bukan subyek iman. Aturan-aturan hidup dan cara beramal serta program dan jadwal agama, tidaklah bernilai sampai batas dapat menjadi sumber pertentangan di antara pengikut masing-masing dari setiap agama. Dengan demikian, tidak satupun agama yang menghitung batil agama-agama lainnya dan seluruh agama-agama akan hidup rukun satu sama lain.

Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
Pendistorsian nilai wahyu sampai batas memandangnya sebagai suatu hasil pengalaman psikologis seseorang, penyebab terhapusnya kandungan makrifat dari agama (khususnya dalam ruang lingkup metafisika). Di samping itu, dikesampingkannya syariat amali dari substansi agama dan terpisahkannya agama bahkan dari akhlak, dan sebagai natijahnya kesamaan agama-agama dan semua akidah serta ketidakmungkinan terhukumi mereka (ditetapkan dan dibatilkan), pada dasarnya telah menciptakan suatu bentuk keberagamaan yang minus dari akidah, hukum, dan akhlak yang merupakan konsekuensi logis dari pluralisme agama.
Motif-motif demikian ini, sejak dari zaman dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bentuknya seperti penisbahan penyair, penyihir, dan gila kepada para nabi As, wahyu yang dibawa oleh mereka juga mengalami hal yang sama dengan pendefinisian mereka sebagai pengalaman psikologis dan pengalaman internal. Oleh karena itu, mereka ini kemudian memperkenalkan kenabian sebagai gabungan dari bahasa syair, produk sihir, dan pengalaman psikologis yang bernuansa kegilaan. Dan mereka memandang para nabi As paling maksimal sebagai repormer kemanusiaan yang memiliki kharismatik kepemimpinan, bukan utusan dan rasul Tuhan. Demikianlah dampak-dampak tinjauan pluralisme agama terhadap para nabi As, wahyu, dan kenabian, yang merupakan suatu bentuk pendistorsian dan pendegradasian realitas dan sejarah.
Selanjutnya pembahasan masalah pluralisme agama ini akan dibahas dalam tulisan-tulisan berikutnya dengan menyertakan landasan filosofis, epistemologis, dan teologisnya serta kritikan dan isykalan terhadapnya. [www.wisdoms4all.com/ind]                       

[1] . Oxford Advanced Learner Dictionary, p. 1062.
[2] . Hasan Kamran, Takatsur Adyân dar Buteh-e Naqd, Hal. 41-42.
[3]. Resâleh Paulus Rasul beh Qarantiyân, Bab awal, Hal. 37.
[4] . Q.S. az-Zariyât [51]: 56.
[5] . Hasan Kamran, Takatsur Adyân dar Buteh-e Naqd, Hal. 46.
[6] . Mudhu wa Bahts Darbâr-e Pluralisme Dini, Hal. 32.
[7] . Hasan Kamran, Takatsur Adyân dar Buteh-e Naqd, Hal. 50.